Kamis, 27 Januari 2011

Teori Erving Goffman& Robert k.mErton



Liku liku gara2 dsruh bwt Pr Mncri contoh Teory ala Robert K merton & Erving goffman...haaaa ksihan deh q disuruh contoh satu g mau eh akhirnya dsruh cari 5 contoh msing dr dua teori fungsi...banyak mnfaat loh mmpelajari teory ini...kita dlami n pengenalan dlo yuk mengenei teori kedua ini.......................

teori Goffman dlo yah
teori in dsbut dengn teori DRamaaa turgi

DRAMATURGI
SEJARAH

1945:Tahun dimana, Kenneth Duva Burke(May 5, 1897 – November 19, 1993) seorang teoritis literatur Amerika dan filosof memperkenalkan konsep dramatisme sebagai metode untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan kehidupan sosial. Tujuan Dramatisme adalah memberikan penjelasan logis untuk memahami motif tindakan manusia, atau kenapa manusia melakukan apa yang mereka lakukan (Fox, 2002).Dramatisme memperlihatkan bahasa sebagai model tindakan simbolik ketimbang model pengetahuan (Burke, 1978). Pandangan Burke adalah bahwa hidup bukan seperti drama, tapi hidup itu sendiri adalah drama. 1959: The Presentation of Self in Everyday Life Tertarik dengan teori dramatisme Burke, Erving Goffman (11 Juni 1922 – 19 November 1982), seorang sosiolog interaksionis dan penulis, memperdalam kajian dramatisme tersebut dan menyempurnakannya dalam bukunya yang kemudian terkenal sebagai salah satu sumbangan terbesar bagi teori ilmu sosial The Presentation of Self in Everyday Life. Dalam buku ini Goffman yang mendalami fenomena interaksi simbolik mengemukakan kajian mendalam mengenai konsep Dramaturgi.

INI BUKAN DRAMATURGI ARISTOTELES

Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan. Meski benar, dramaturgi juga digunakan dalam istilah teater namun term dan karakteristiknya berbeda dengan dramaturgi yang akan kita pelajari. Dramaturgi dari istilah teater dipopulerkan oleh Aristoteles. Sekitar tahun 350 SM, Aristoteles, seorang filosof asal Yunani, menelurkan, Poetics, hasil pemikirannya yang sampai sekarang masih dianggap sebagai buku acuan bagi dunia teater. Dalam Poetics, Aristoteles menjabarkan penelitiannya tentang penampilan/drama-drama berakhir tragedi/tragis ataupun kisah-kisah komedi. Untuk menghasilkan Poetics Aristoteles meneliti hampir seluruh karya penulis Yunani pada masanya. Kisah tragis merupakan obyek penelitian utamanya dan dalam Poetic juga Aristoteles menyanjung Kisah Oedipus Rex, sebagai kisah drama yang paling dapat diperhitungkan. Meskipun Aristoteles mengatakan bahwa drama merupakan bagian dari puisi, namun Aristoteles bekerja secara utuh menganalisa drama secara keseluruhan. Bukan hanya dari segi naskahnya saja tapi juga menganalisa hubungan antara karakter dan akting, dialog, plot dan cerita. Ia memberikan contoh-contoh plot yang baik dan meneliti reaksi drama terhadap penonton. Nilai-nilai yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam maha karyanya ini kemudian dikenal dengan “aristotelian drama” atau drama ala aristoteles, dimana deus ex machina[1] adalah suatu kelemahan dan dimana sebuah akting harus tersusun secara efisien. Banyak konsep kunci drama, seperti anagnorisis[2] dan katharsis[3], dibahas dalam Poetica. Sampai sekarang “aristotelian drama” sangat terlihat aplikasinya pada tayangan-tayangan tv, buku-buku panduan perfilman dan bahkan kursus-kursus singkat perfilman (dramaturgi dasar) biasanya sangat bergantung kepada dasar pemikiran yang dikemukakan oleh Aristoteles.

DRAMATURGI: BENTUK LAIN DARI KOMUNIKASI

Bila Aristoteles mengungkapkan Dramaturgi dalam artian seni. Maka, Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Seperti yang kita ketahui, Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In Everyday Life. Buku tersebut menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Bila Aristoteles mengacu kepada teater maka Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Kenapa komunikasi? Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok-sosok tertentu. Hal ini setara dengan yang dikatakan oleh Yenrizal (IAIN Raden Fatah, Palembang), dalam makalahnya “Transformasi Etos Kerja Masyarakat Muslim: Tinjauan Dramaturgis di Masyarakat Pedesaan Sumatera Selatan” pada Annual Conference on Islamic Studies, Bandung, 26 – 30 November 2006: “Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya.”

DRAMATURGIS : KITA SEBENARNYA HIDUP DI ATAS PANGGUNG

Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management diatas). Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Contohnya, seorang front liner hotel senantiasa berpakaian rapi menyambut tamu hotel dengan ramah, santun, bersikap formil dan perkataan yang diatur. Tetapi, saat istirahat siang, sang front liner bisa bersikap lebih santai, bersenda gurau dengan bahasa gaul dengan temannya atau bersikap tidak formil lainnya (merokok, dsb). Saat front liner menyambut tamu hotel, merupakan saat front stage baginya (saat pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menyambut tamu hotel dan memberikan kesan baik hotel kepada tamu tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang front liner juga adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh pihak manajemen hotel. Saat istirahat makan siang, front liner bebas untuk mempersiapkan dirinya menuju babak ke dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya, skenario yang disiapkan oleh manajemen hotel adalah bagaimana sang front liner tersebut dapat refresh untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya. Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain. Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan sebagai “breaking character”. Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya. Apa yang dilakukan masyarakat melalui konsep permainan peran adalah realitas yang terjadi secara alamiah dan berkembang sesuai perubahan yang berlangsung dalam diri mereka. Permainan peran ini akan berubah-rubah sesuai kondisi dan waktu berlangsungnya. Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam permainan peran ini, terutama aspek sosial psikologis yang melingkupinya.

KRITIK TERHADAP DRAMATURGI

Dramarturgi hanya dapat berlaku di institusi total

Institusi total maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya. Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan. Bahkan beberapa ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan.

Menihilkan “kemasyarakatan”

Teori ini juga dianggap tidak mendukung pemahaman bahwa dalam tujuan sosiologi ada satu kata yang seharusnya diperhitungkan, yakni kekuatan “kemasyarakatan”. Bahwa tuntutan peran individual menimbulkan clash bila berhadapan dengan peran kemasyarakatan. Ini yang sebaiknya dapat disinkronkan.

Dianggap condong kepada Positifisme

Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme[4]. Penganut paham ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut.

ANALISA DRAMATURGI

Dramaturgis masuk dalam Perspektif Obyektif

Dramaturgis dianggap masuk ke dalam perspektif obyektif karena teori ini cenderung melihat manusia sebagai makhluk pasif (berserah). Meskipun, pada awal ingin memasuki peran tertentu manusia memiliki kemampuan untuk menjadi subyektif (kemampuan untuk memilih) namun pada saat menjalankan peran tersebut manusia berlaku objektif, berlaku natural, mengikuti alur. Misalnya, pada kasus Kekerasan pada Rumah Tangga (“KDRT”), saat perilaku kekerasan itu hendak terjadi, korban sebenarnya memiliki pilihan, berserah diri atau melakukan perlawanan. Bila ia memberontak maka konsekuensinya adalah ini dan bila ia pasrah maka akibatnya seperti itu. Proses subyektif ini akan beralih menjadi obyektif saat ia menjalani peran yang dipilihnya tersebut. Misalnya yang ia ambil adalah pasrah karena ia takut kalau ia melarikan diri konsekuensinya lebih parah, atau ia merasa terlalu tergantung kepada tersangka dan mengkhawatirkan nasih anaknya bila ia melawan. Maka, setelah itu ia akan menjalani perannya sebagai korban. Secara naluriah ia akan menutupi bagian tubuhnya yang mungkin menjadi sasaran kekerasan. Atau ia berusaha untuk menutupi telinganya untuk melindungi mental dan psikologisnya. Itulah mengapa dramaturgi di sebut memiliki muatan objektif. Karena pelakunya, menjalankan perannya secara natural, alamiah mengetahui langkah-langkah yang harus dijalani.
Pendekatan Keilmuan Little John – Pendekatan Scientific (ilmiah – empiris)

Seperti telah dijabarkan diatas, Dramaturgis merupakan teori yang mempelajari proses dari perilaku dan bukan hasil dari perilaku. Ini merupakan asas dasar dari penelitian-penelitian yang menggunakan pendekatan scientific[5]. Obyektifitas yang digunakan disini adalah karena institusi tempat dramaturgi berperan adalah memang institusi yang terukur dan membutuhkan peran-peran yang sesuai dengan semangat institusi tersebut. Institusi ini kemudian yang diklaim sebagai institusi total sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya. Bahwa hasil dari peranan itu sesungguhnya, bila proses (rumusnya) dijalankan sesuai dengan standar observasi dan konsistensi maka bentuk akhirnya adalah sama. Contohnya, bila seorang pengajar mempraktekkan cara mengajar sesuai dengan template perguruan tinggi maka kualitas keluaran perguruan tinggi tersebut akan menghasilkan kualitas yang bisa dikatakan relatif sama. Atau untuk contoh front liner hotel diatas, bila front liner dapat memainkan skenario penyambutan tamu manajemen hotel, niscaya tamu akan merasa dihargai, dihormati, senang dan bersedia untuk datang menginap kembali di hotel tersebut.
[1] Frase ini berasal dari bahasa Latin yang secara bahsa berarti Tuhan keluar membantu. Hal ini menunjuk pada karakter buatan, imajiner, alat ataupun peristiwa yang tiba-tiba saja terjadi atau ada dalam sebuah pertunjukan fiksi atau drama sebagai jalan keluar dari sebuah situasi atau plot yang sulit (contohnya, tiba-tiba ada ibu peri yang muncul untuk menolong Cinderella supaya bisa datang ke pesta dansa di istana).

[2] Aristoteles mengartikan kata ini sebagai “perubahan perilaku dari acuh menjadi butuh karena perkembangan cerita (mengetahui yang sesungguhnnya), tumbuhnya rasa cinta atau benci yang timbul antar karakter yang ditakdirkan oleh alur cerita”. Contohnya, pangeran dalam cerita Cinderella sebelum tidak peduli pada gadis-gadis yang memiliki sepatu kaca, tapi begitu ia mengetahui bahwa gadis misteriusnya memakai sepatu kaca, maka ia mencari gadis-gadis yang muat dengan sepatu kacanya.

[3] Kata ini mengacu kepada sensasi, atau efek turut terbawanya alur cerita ke dalam hati. Perasaan ini seyogyanya muncul di hati para penonton seusai menonton drama yang mengena. (contohnya, turut menangis,tertawa, atau perasaan iba terhadap karakter drama).

[4] Positifisme dirunut dari asalnya berasal dari pemikiran Auguste Comte pada abad ke 19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains.
[5] Menurut pandangan ini ilmu diasosiasikan dengan objektivitas. Objektivitas yang dimaksudkan di sini adalah objektivitas yang menekankan prinsip standardisasu observasi dan kosistensi. Landasan philosofisnya adalah bahwa dunia ini pada dasarnya mempunyai bentuk dan struktur.

ROBERT K MERTON

Biografi

Robert K merton seorang imigran yahudi yang memiliki semangat belajar tinggi, dengan bantuan beasiswa pula, Merton mendapatkan gelar MA dan Ph.D dari Universitas Harvard. Murid yang paling berpengaruh dan lulus paling awal. Beberapa penulis buku teori sosiologi modern mengatakan bahwa merton adalah murid Parsons. Artinya kalau pendekatan-pendekatan merton bersifat fungsionalisme, hal ini tidak lepas dari pengaruh gurunya itu. Ilmuan-ilmuan lain yang mempengaruhi seperti Emile Durkheim yang mengisyaratkan bahwa sosiologi harus memiliki sifat empiris, metodologi yang sangat ketat dan disiplin dengan data-data. Selain itu pengaruh Max Weber terlihat jelas pada disertasi doktoralnya yang membahas tentang hubungan antara protestantisme dan perkembangan ilmu khususnya di abad ke 17 di inggris. Robert K.Merton sebagai pendukung model fungsionalisme stuktural yang paling moderat dewasa ini, analisis fungsional Merton sesungguhnya merupakan hasil perkembangan pengetahuannya yang menyeluruh menyangkut para ahli teori-teori sosiologi klasik. Dia mencoba menyempurnakan berbagai konsep pemikiran Durkheim dan Weber dengan memusatkan perhatian pada struktur sosial, bahwa birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisasi secara rasional dan formal, meliputi pola kegiatan yang jelas dan berhubungan dengan tujuan organisasi. Diskripsi Merton tidak terbatas pada struktur melainkan terus dikembangkan pada pembahasan tentang kepribadian sebagai produk organisasi stuktural.
Istilah Fungsi

Fungsionalisme struktural merupakan paradigma dominan pada sosiologi generasi pertama. Kekuatannya terletak pada[1] triple alliance, yakni: teori, metode dan data. Dari ketiganya, ilmuan fungsionalisme selalu rajin mencurahkan pikiran dan waktu untuk memfokuskan teoritis dan memperjelas konsep. Ada banyak istilah fungsional baik digunakan oleh sosiolog maupun orang awam. Pengertian fungsi adalah:

ü Padanan kata dari “pekerjaan”[2] mengutip weber, pekerjaan = spesialisasi

ü Aktifitas yang menunjuk pada pemegang status sosial, khususnya pemegang jabatan kantor atau polisi politik.

ü Hubungan satu atau lebih variabel yang dinyatakan dengan nilai atau ketergantungan nilai yang dimiliki yang dijelaskan secara matematik.
Fungsionalisme Merton

Fungsionalisme yang dikembangkan Merton benar-benar ke arah makro yang merupakan “sosiologis” ala Durkheim. Benar-benar berbeda dengan internal dan membuat kodifikasi analisis fungsi. Batasan fungsi Robert K Merton:
Dalam konteks Merton, penekanan fungsi lebih diletakkan pada sudut pengamat dan tidak peduli pada partisipan. (peneliti obyektif dan tidak terpengaruh terhadap argument orang lain)
Fungsi sosial menunjuk pada konsekuensi-konsekuensi objektif yang dapat diobservasi dan tidak menunjuk pada kecenderungan subjektif seperti yang terdapat dalam psikis atau hal-hal internal dalam individu. Gambaran paling jelas, kita bisa membedakan antara motif untuk menikah, seperti cinta atau alasan-alasan personal (ekonomi, menutupi aib) apa yang menjadi alasan individu melakukan tindakan sangat tidak bisa disamakan dengan konsekuensi yang terobservasi dari pola-pola perilaku. Keduannya berdiri sendiri, inilah yang merupakan kata kunci dari istilah fungsi.

Model Struktural Fungsional Merton mengkritik apa yang dilihatnya sebagai [3]tiga postulat dasar analisis fungsional sebagaimana dikembangkan oleh antropolog seperti Malinowski dan Radcliffe-Brown. Postulat-postulat tersebut adalah :

a) Postulat kesatuan fungsional masyarakat, postulat ini menyatakan bahwa seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standar bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam masyarakat.

b) Fungsionalisme universal dinyatakan bahwa semua bentuk dan struktur sosial cultural memiliki fungsi positif. Contoh naassionalisme buta bisa jadi sangat disfungsional di dunia yang tengah mengembangkan persenjataan nuklir.

c) Postulat Indispensabilitas, arumennya adalah bahwa seluruh standar masyarakat tidak hanya memiliki funsi positif namun juga merepresentasikan bagian-bagian tak terpisah dari keseluruhan.
Revisi merton — Fungsionalisme Baru

Tidak semua masyarakat memiliki tingkat integrasi sosial yang sama/ tidak semua bagian dari kebudayaan fungsional, dalam kebudayaan masyarakat senantiasa juga terdapat disfungsi. Sesuatu mungkin fungsional pada satu bagian masyarakat, tetapi juga disfungsi bagi anggota masyarakat lain.( contohnya: di pulau jawa, memakan daging sapi bukan hal yang tabu, sedangkan di Bali, memakan daging sapi di masyarakat hindu bali merupakan hal yang tabu, sebab sapi di Bali pada umumnya sebagai hewan yang dikeramatkan, maka mereka cenderung memakan daging selain daging sapi, misalnya daging anjing atau hewan lain). Hubungan antara fungsional dan disfungsi bersifat saling memengaruhi. Misalnya, dalam masyarakat, keluarga merupakan unsur fungsional, termasuk kencan dan pacaran juga demikian namun juga mengandung unsur disfungsi. Menariknya secara fisik, hal itu cenderung menginginkan sebatas hal yang romantis saja sehingga Justru, hal itu menuntut penggunaan topeng dan menyembunyikan jati diri sesungguhnya. Pada konteks ini pacaran dan kencan bersifat disfungsi. Mungkin postulat-postulat fungsi tersebut berlaku dan banyak ditemukan pada masyarakat yang masih buta huruf. Tetapi, ketika masyarakat semakin maju, tidak semuannya fungsional.
Fungsi Manifes dan Fungsi Laten

Fungsi manifes dalam social structures and system dapat dijelaskan ciri dan fungsinya, seperti yang dinyatakan William M Dobriner yakni fungsi manifes adalah jelas, milik publik, ideologis, nyata, alamiah/tidak dibuat-buat, memiliki maksud dan penjelmaan dari akal sehat. Fungsi manifes adalah tujuan atau penjelasan aktor dalam struktur yang berguna untuk menilai atau menjelaskan fakta sosial, kelompok atau peristiwa (dalam arti sederhananya yaitu fungsi yang dikehendaki). Sedangkan yang dimaksud sebagai fungsi laten adalah tidak diharapkan dan tak mengenali konsekwensi dari konsep yang sama. Beberapa isu yang bisa dilihat dengan dua konsep diatas misalnya perkawinan antar ras, stratifikasi sosial, frustasi, propaganda sebagai alat kontrol sosial, mode pakaian, dinamika kepribadian, dinamika birokrasi, ukuran keamanan nasional dan konsekuensi gaji baru (bisa bersifat menggerakkan semangat kerja (manifes), tapi juga bisa membungkam saat berbeda pendapat dengan kebijakan manajemen (latten). Kesulitan didapatkan pada saat melakukan investigasi empiris, sebab tidak ada perilaku tunggal yang hanya bersifat manifes saja, karena sering kali ada lebih dari satu motif yang bisa dimasukkan baik sebagai manifes ataupun laten. Orang yang belajar di PT tidak mesti menuntut ilmu, tetapi juga mengurangi status sebagai pengangguran.
Pola-pola adaptasi individu pada perubahan

Perspektif Merton bergeser dari pola nilai budaya menjadi tipe-tipe adaptasi pada nilai-nilai mereka yang hidup dalam posisi berbeda pada struktur sosial (Robert K Merton, 1968:193). Ada 4 tipologi cara adaptasi individu, yaitu kerja sama, inovasi, ritualisme, retretisme dan pemberontakan. Perilaku dalam tipe spesifik dari situasi, bukan kepribadian. Ia adalah tipe tanggapan yang kurang lebih berjalan terus-menerus.
Kerja sama (conformity)

- Membuat masyarakat bisa eksis dan berlanjut.

- Individu bisa menerima baik tujuan kultural maupun alat institusional.

- Baik Interaksi sendiri maupun secara keseluruhan terjadi secara tidak teratur
Inovasi (innovation)

- Penggunaan alat secara kebudayaan dilarang namun sangat efektif mendapatkan gambaran nyata (wealth and power)

- Adaptasi terjadi ketika individu telah berasimilasi dengan kebudayaan yang menuju pada tujuan, tanpa diimbangi oleh internalisasi norma institusi untuk mencapai tujuan itu.

- Misalnya sarjana yang memalsukan ijasah demi mendapatkan pekerjaan atau gelar S-2 dan S-3 tapi tidak bisa menunjukkan universitas manakah almamaternya.
Ritualisme (Ritualism)

- Melepaskan tujuan kultural yang tinggi dari keberhasilan duniawi dan mobilitas sosial.

- Bagi yang masuk kelompok ini bisa menolak tujuan.

- Ketika ada keputusan individual, kebudayaan tetap mengizinkan, hanya saaja bukan itu yang paling disukai kebudayaan.

- Sudah menjadi hal biasa ketika status individu tergantung pada masing-masing individu.

- Pada kelommpok ini, keinginan kuat cenderung mengalami frustasi, aspirasi rendah demi mendapatkan kepuasan dan keamanan.
Pengasingan diri (Retreatism)

- Mereka melepaskan tujuan yang menentukan secara kultural dan perilaku mereka tidak sesuai dengan norma institusional.

- Kesempatan yang besar di masyarakat tidak bisa mendukung kesuksesan individu, sehingga mereka menghentikan alat institusional itu, baik yang diakui maupun efektif. Contoh: defeatism (kekalahan), questism (ketenangan), dan resignation (pengunduran diri).
Pemberontakan (Rebellion)

- Adaptasi mengarahkan individu di luar struktur sosial melingkupi untuk mempertimbankan dan mencari penciptaan hal baru, terutama berkaitan dengan struktur sosial yang dimodifikasi secara besar-besaran.

- Proses ini mengisyaratkan aliesnasi dari tujan dan standar yang memerintah. Ini datang karena kesewenang-wenangan.

- Ketika sistem lembaga diketahui sebagai halangan untuk pemuasan tujuan, maka peluang untuk rebellion menjadi adaptif.

- Alianasi yang berisiketidakpuasan tidak hanya meninggalkan struktur sosial yang ada, tetapi mentranfer pada kelompok baru yang memiliki mitos baru.

- Dalam individu yang masuk pada pemberontakan, terdapat perubahan penting pada nilai-nilai.
Struktu Sosial dan Anomi

[4]Yaitu analisis Merton tentang hubungan antara kebudayaan, struktur, dan anomi. Merton mendefinisikan kebudayaan sebagai serangkaian nilai normatif teratur yang mengendalikan perilaku yang diberlakukan sama kepada seluruh anggota masyarakat atau kelompok tertentu dan struktur sosial sebagai serangkaian hubungan sosial teratur yang mempengaruhi anggota masyarakat masyaraat atau kelompok tertentu dengan satu atau lain cara. Anomi terjadi ketika terdapat disjungsi akut antara norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur secara sosial dengan kemampuan anggota kelompok untuk bertindak menurut norma dan tujuan tersebut. Jadi, karena posisis mereka dalam struktur sosial masyarakat beberapa orang tidak mampu bertindak menurut nilai-nilai normative.

DAFTAR PUSTAKA

Ritzer, George and Douglas J.Goodman. 2008. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Muthakir Teori Sosial Post Modern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Poloma, Margaret M. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Rachmad K.Dwi Susilo.2008.20 Tokoh Sosiologi Modern. _______: Ar-Ruzzmedia.

Johnson, Doyle Paul.1986. TEORI SOSIOLOGI Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia.

Soekanto, Soerjono.2010.Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta: PT.Rajawali Pers.
[1] Rachmad K Dwi Susilo, 20 Tokoh Sosiologi Modern


[2] Max Webber

[3] George Ritzer and Douglas J. Goodman, Teori Sossiologi Klasik sampai Perkembangan Muthakir Teori Sosial Post Modern, (268)

[4] George ritzer and Dougla J. Goodman, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Muthakir Teori Sosial Post Modern (273)



^~^ selmat belajr q juja mau bljr ni hsl Kopas haaaa ^~^

Tidak ada komentar: