Senin, 05 April 2010

ISLAM dlm modernisasi DAN DEMOKRASI

Tidak ada negara Islam karena negara tidak bisa berdiri berdasar kepada agama demikian juga Islam tidak bisa menjadi identitas sebuah negara. Negara adalah suatu institusi sebagai wadah structural yang menyelenggalarakan pemerintahan.

Dengan pemerintahan maka masyarakat akan memperoleh perlindungan menuju kepada kehidupan yang sejahtera lahir dan batin. Sebagai sebuah lembaga maka negara tentunya tidak mungkin beragama. Yang beragama adalah manusia baik sebagai subyek maupun obyek pemerintahan. Tetapi hal itu bukan berarti bahwa negara tidak membutuhkan agama demikian juga agama tidak membutuhkan negara.

Sebagai subyek pemerintahan maka tentunya manusia harus memiliki seperangkat nilai-nilai untuk menjadikan pelaku pemerintahan menjadi orang yang jujur, ikhlas, disiplin, bersahabat dan beretos kerja. Demikian juga manusia sebagai obyek pembangunan hendaklah menerima kepemerintahan itu berdasar pada nilai-nilai luhur agamanya sehingga tidak mengorbankan nilai-nilai kepatutan.

Demikianlah hubungan saling mendukung negara dan agama namun berada pada dua posisi yang berbeda. Kepustakaan klasik Islam tidak pernah menyebut kata negara kecuali sebutan al daulat al islamiyah yang diartikan kedaulatan Islam (Islamic sovereignity). Kata negara Islam (Islamic state) baru muncul setelah terjadinya kontak dunia Islam dengan dunia barat pada awal abad 19.

Lalu bagaimana halnya dengan demokrasi ? Kata demokrasi merujuk kepada prinsip kehidupan bernegara yang ditandai adanya partisipasi dan pengelolaan secara terbuka terhadap pemerintahan.

Sampai disini, maka Islam mendukung prinsip kehidupan demokrasi karena Islam memandang manusia dalam kedudukan yang sama. Faktor yang membedakan hanyalah takwa (Q.S. Al Hujurat [49]: 13). Takwa dengan bahasa sederhana adalah upaya pendekatan diri secara terus menerus kepada Allah SWT.

Oleh karena subtansi keislaman adalah takwa maka nilai keislaman itu terletak di dalam lubuk hati yang terdalam bukan pada simbol yang menunjuk pada identitas keislaman. Simbol bukan tidak perlu akan tetapi posisinya tidak lebih dari sebagai aktualisasi kerumitan sebuah substansi ketakwaan yang sulit dibahasakan secara lahiriah.

Selanjutnya, oleh karena demokrasi adalah semata berasal dari kultur yang terbentuk melalui logika pemikiran yang pragmatistik, maka ukuran kebenaran yang dijadikan patokan adalah pada perimbangan jumlah suara dan tidak melihat latar belakang akar persoalan yang menghasilkan suara.

Dalam kaitan itu, suara orang yang berpikiran panjang dengan berpikiran pendek dipandang memiliki kualitas yang sama padahal akibat dari pemungutan suara adalah akan menentukan masa depan suatu bangsa dalam siklus tahunan tertentu.

Oleh karena itu, Islam sebagai ajaran yang bersumber dari Zat Yang Maha Bijaksana tentulah mengajarkan kepada umatnya untuk tidak berhenti sekedar pada jumlah angka nominal suara akan tetapi melacak lebih dalam lagi yaitu terhadap nilai hukum.

Dalam kaitan itulah Islam menawarkan jalan tengah yaitu perlunya dijalani proses musyawarah sebelum diambil keputusan akan tetapi keputusan yang sesungguhnya adalah bersumber pada pemimpin yang dapat merefleksikan pesan-pesan ilahiah sebagai pengemban amanah.

Besarnya bobot wewenang kepada pemimpin seimbang dengan besarnya tanggung jawab yang dipikulnya baik di dunia maupun hari kemudian. Kemudian, umat manusia telah mengalami proses transformasi dari kehidupan bersahaja menuju kepada kehidupan moderen maka lahirlah modernisasi. Modernisasi adalah positif sepanjang berkaitan dengan pembaruan teknis kehidupan karena dengan modernisasi kehidupan manusia semakin mudah, nikmat dan nyaman.

Akan tetapi sekali-kali modernisasi tidak boleh menggugat nilai-nilai yang bersumber dari tradisi keagamaan dan norma- norma kepatutan yang telah berurat berakar bagi masyarakat dengan alasan bertentangan dengan kemajuan.

Dengan demikian, modernisasi amat berguna manakala diaktifkan untruk mendukung pengembangan pranata sosial yang dinaungi oleh nilai keislaman. Akan tetapi sebaliknya modernisasi akan membawa malapetaka manakala ia kehilangan arah karena mengabaikan nilai absolut (ultimate value) kehidupan yang bersumber dari Islam. Demikianlah hubungan antara Islam dengan negara, demokrasi dan modernisasi. Wallahu a’lam bsh shawab.

Penulis adalah Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mg bermnafaat..q jg ge cri2nih..bwt SOCIOLOGI..ISLAM

Kamis, 01 April 2010

FATH MAKKAH

Tahun kedelapan Hijrah, perjanjian Hudaibiyah dikhianati oleh orang-orang Quraisy mekah, Nabi segera mengeluarkan perintah kesiagaan umum. Beliau siapkan pasukan besar yang belum pernah disaksikan kehebatannya selama ini. Ketika pasukan telah lengkap dan siap bergerak, Nabi pun menyampaikan bahwa sasarannya adalah Mekah. Pasukan bergerak laksana migrasi kawanan burung menuju arah selatan. Nabi memerintahkan kepada pasukannya yang berjumlah 10.000 orang untuk membagi diri, dan menyalakan api unggun di malam hari agar pasukan musuh melihat betapa besar pasukan musuh tersebut.
Di dekat kuburan Abu Tholib dan Khodijah yang terletak di punggung Mekah, kaum muslimin membuat kubah untuk Nabi. Dari kubah inilah Nabi mengamati dengan cermat arus pasukan Islam yang masuk ke kota dari empat penjuru.
Meakkah… Membisu di depan Nabi dan pendukungnya. Ya Mekkah membisu dan tidak lagi menyerukan teriakan Firaun-firaun, digantikan hiruk pikuk suara 10.000 prajurit Muslim yang menggema yang seakan-akan sedang menunggu kedatangan sahabatnya
Gua itu menatap kepada orang yang dulu berada dalam perutnya dalam keadaan terusir yang kini telah berdiri tegap dengan gagah dan dikelilingi puluhan ribu pengikut dan pembelanya.
Nabi memasuki Mekah dan bertawaf, menghancurkan berhala-berhala bersama al-Washi, tidak ada darah yang tertumpah. Orang-orang Quraisy yang berada di Makkah menunggu bibir Muhammad berucap tentang mereka, apakah yang akan terjadi pada mereka, namun bibir itu begitu mulia untuk menjatuhkan hukuman, ia memberikan kepada mereka yang telah memeranginya pengampunan dan beliau berkata … Pergilah, Anda semua adalah orang-orang yang dibebaskan!
Kini, di Shafa, laki-laki yang telah membuat sejarah itu telah kembali, berdiri di depan kehidupannya yang sarat dengan berbagai peristiwa dan yang ditangannya tergenggam masa depan yang gemilang. Selama dua puluh tahun penggembalaannya tak pernah henti, ia tak pernah merasakan letih, kesabarannya begitu tinggi, tak pernah menyerah. Orang orang Quraisy berdesak-desakkan di bukit Shafa untuk memberikan Baiat.
Setelah penaklukan Mekah masih ada beberapa peperangan besar berlanjut semasa hidup Nabi – yaitu Hunain, Tabuk. Al-Washi tampil dengan gagah perkasa dalam peperangan ini, sesudah membuat kocar-kacir musuh, al-washi segera menghambur untuk bergabung dengan Nabi, ia memutari Nabi, dan menghambur membabat musuh untuk melindungi Nabi, dan pada kali yang lain menemui prajurit musuh yang lari dan menghadang kejaran musuh. Sesudah itu kembali memutari Nabi. Nabi memanggil sahabat-sahabatnya yang lari cerai-berai
“Ayyuhan Nas, mau kemana kalian ? Wahai orang-orang yang ikut baiat al-Ridwan! Wahai, orang-orang yang kepadanya diturunkan surat Al-Baqarah! Wahai orang-orang yang berbaiat di bawah pohon…! “
Orang-orang Madinah yang gagah berani segera sadar akan diri mereka! Dan ingat bahwa hingga saat ini mereka adalah tulang punggung Nabi. Kini Nabi memanggil mereka di tengah 12.000 orang prajurit, dua ribu diantaranya adalah kaum kerabatnya. Mereka segera menghambur ke arah Nabi menyambut panggilannya dengan, “Labbaik, Labbaik… Kami datang, kami datang…!”
Pasukan Islam kembali memenangkan pertempuran, peran individual Muhammad dalam menyampaikan risalah agungnya telah selesai, dan kini tidak bisa tidak di harus melihat pasukannya, untuk kesekian kalinya, mengingat dan mengenang kembali pelajaran yang telah diberikannya selama dua puluh tiga tahun, agar di bisa mengevaluasi dan menelitinya kembali.
Nabi Muhammad SAW merupakan utusan Allahyang terakhir. Beliau bagaikan baju terbaik yang pertama kali dibuat oleh Allah SWT yang akan dipakai terakhir kali yaitu sebagai Utusan Allah yang terakhir dan terbaik. Dalam mengemban misi dakwahnya, umat Islam percaya bahwa Muhammad diutus Allah untuk menjadi Nabi bagi seluruh umat manusia (QS. 34 : 28), sedangkan nabi dan rasul sebelumnya hanya diutus untuk umatnya masing-masing (QS 10:47, 23:44) seperti halnya Nabi Musa yang diutus Allah kepada kaum Bani Israil.
Sedangkan persamaannya dengan nabi dan rasul sebelumnya ialah sama-sama mengajarkan Tauhid, yaitu kesaksian bahwa Tuhan yang berhak disembah atau diibadahi itu hanyalah Allah (QS 21:25).

alhmdllh dkit nih dptnya...heheee jdi mudah kl presentasi...hahaa

PIAgam MAdinah (ctatn yg tk kn ilang...)

Rasulullah s.a.w. dalam merangka piagam Madinah, beliau telah mengikut bimbingan [[wahyu]] dan berdasarkan norma-norma masyarakat Madinah ketika itu. Terdapat tiga langkah yang diambil oleh Rasulullah dalam membentuk piagam Madinah.

Langkah pertama
Dilakukan oleh Rasulullah dengan mendirikan sebuah masjid sebagai tempat orang Islam beribadat dan tempat Rasulullah menyampaikan ajaran Islam serta tempat pentadbiran Rasulullah.
Langkah kedua
Mengikat tali persaudaraan antara kaun Ansar dan Muhajirin, bagi mewujudkan persefahaman dan untuk membantu kaum Muhajirin memulakan hidup baru dengan pertolongan kaum Ansar.
Langkah ketiga
Mengadakan perjanjian dengan orang Yahudi supaya sama-sama mempertahankan Madinah dari ancaman luar.
Berdasarkan langkah-langkah tersebut maka lahirlah satu perjanjian yang dikenali sebagai piagam Madinah. Perkara utama yang terkandung dalam Piagam Madinah adalah:
• Nabi Muhammad s.a.w. adalah ketua negara untuk semua penduduk Madinah dan segala pertelingkaran hendaklah merujuk kepada baginda.
• Semua penduduk Madinah ditegah bermusuhan atau menanam hasad dengki sesama sendiri, sebaliknya mereka hendaklah bersatu dalam satu bangsa iaitu bangsa Madinah.
• Semua penduduk Madinah bebas mengamal adat istiadat upacara keagamaan masing-masing.
• Semua penduduk Madinah hendaklah bekerjasama dalam masalah ekonomi dan mempertahankan Kota Madinah dari serangan oleh musuh-musuh dari luar Madinah.
• Keselamat orang Yahudi adalah terjamin selagi mereka taat kepada perjanjian yang tercatat dalam piagam tersebut,
Tujuan Piagam Madinah
• Menghadapi masyarakat majmuk Madinah
• Membentuk peraturan yang dipatuhi bersama semua penduduk.
• Ingin menyatukan masyarakat pelbagai kaum
• Mewujudkan perdamaian dan melenyapkan permusuhan
• Mewujudkan keamanan di Madinah
• Menentukan hak-hak dan kewajipan Nabi Muhammad dan penduduk setempat.
• Memberikan garis panduan pemulihan kehidupan kaum Muhajirin
• Membentuk Kesatuan Politik dalam mempertahankan Madinah
• Merangka persefahaman dengan penduduk bukan Islam, terutama Yahudi.
• Memberi peruntukan pampasan kepada kaum Muhajirin yang kehilangan harta benda dan keluarga di Mekah.
Prinsip Piagam Madinah
• Al-Quran dan Sunnah adalah sumber hukum negara.
• Kesatuan Ummah dan Kedaulatan Negara
• Kebebasan bergerak dan tinggal di Madinah
• Hak dan tanggungjawab dari segi ketahanan dan mempertahankan negara
• Dasar hubungan baik dan saling bantu-membantu antara semua warganegara
• Tanggungjawab individu dan negara pemerintah dalam menegakkan keadilan sosial.
• Beberapa undang-undang keselamatan seperti hukuman Qisas dan sebagainya telah dicatatkan
• Kebebasan beragama
• Tanggungjawab negara terhadap orang bukan Islam
• Kewajipan semua pihak terhadap perdamaian.

Kandungan Piagam Madinah
• Fasal 1
Dengan nama Allah yang Maha Pemurah Lagi Penyayang : Inilah kitab (Piagam Bertulis) dari Nabi Muhammad, pesuruh Allah bagi orang-orang yang beriman dan orang-orang yang memeluk Islam dari Quraisy dengan penduduk Yathrib dan orang-orang yang bersama mereka lali masuk ke dalam golongan mereka dan berjuang bersama-sama mereka.
• Fasal 2
Bahawa mereka adalah satu umat (bangsa) berbeza dari manusia-manusia lain.
• Fasal 3
Golongan Muhajirin dari Quraisy tetaplah di atas pegangan lama mereka : mereka saling tanggung-menanggung membayar dan menerima diyat (wang tebusan) di antara sesama mereka dalam mana mereka menebus sesiapa yang tertawan dengan cara berkebajikan dan adil di kalangan orang-orang beriman.


• Fasal 4
Bani Auf (dari Yathrib) tetaplah di atas pegangan lama mereka dalam mana mereka bersama-sama tanggung-menanggung membayar serta menerima wang tebusan seperti dulu; dan setiap taifah (golongan) tetaplah menebus sesiapa yang tertawan dari kalangan mereka sendiri dengan cara berkebajikan dan adil di kalangan orang-orang yang beriman.
• Fasal 5
Bani al-Harith (dari Yathrib – Madinah) bin al-Khazraj tetaplah di atas pegangan lama mereka bersama-sama bertanggungjawab membayar wang tebusan darah seperti dulu, dan tia-tiap puak dari (Suku Khazraj) hendaklah membayar wang tebusandarah mereka sendiri dengan adil dan berkebajikan di kalangan orang-orang yang beriman.
• Fasal 6
Bani Saidah (dari Yathrib) tetaplah di atas pegangan lama mereka bersama-sama bertanggungjawab membayar wang tebusan darah seperti dahulu dan tiap-tiap puak dari mereka hendaklah membayar wang tebusan darah untuk mereka sendiri dengan berkebajikan dan adil di kalangan orang-orang yang beriman.
• Fasal 7
Bani Jusyam (dari Yathrib) tetaplah di atas pegangan lama mereka bersama-sama bertanggungjawab membayar wang tebuan darah seperti dahulu dan tiap-tiap puak dari mereka hendaklah membayar wang tebusan darah untuk mereka sendiri dengan berkebajikan dan adil di kalangan orang-orang yang beriman.
• Fasal 8
Banu al-Najjar (dari Yathrib) tetaplah di atas pegangan lama mereka bersama-sama bertanggungjawab membayar wang tebuan darah seperti dahulu dan tiap-tiap puak dari mereka hendaklah membayar wang tebusan darah untuk mereka sendiri dengan berkebajikan dan adil di kalangan orang-orang yang beriman.
• Fasal 9
Bani Amru bin Auf tetaplah di atas pegangan lama mereka bersama-sama bertanggungjawab membayar wang tebuan darah seperti dahulu dan tiap-tiap puak dari mereka hendaklah membayar wang tebusan darah untuk mereka sendiri dengan berkebajikan dan adil di kalangan orang-orang yang beriman.
• Fasal 10
Bani al-Nabiet (dari Yathrib) tetaplah di atas pegangan lama mereka bersama-sama bertanggungjawab membayar wang tebuan darah seperti dahulu dan tiap-tiap puak dari mereka hendaklah membayar wang tebusan darah untuk mereka sendiri dengan berkebajikan dan adil di kalangan orang-orang yang beriman.
• Fasal 11
Bani Aus (dari Yathrib) tetaplah di atas pegangan lama mereka bersama-sama bertanggungjawab membayar wang tebuan darah seperti dahulu dan tiap-tiap puak dari mereka hendaklah membayar wang tebusan darah untuk mereka sendiri dengan berkebajikan dan adil di kalangan orang-orang yang beriman.
• Fasal 12
Bahawa orang-orang yang beriman tidaklah boleh membiarkan sebarang masalah di antara mereka sendiri bahkan mestilah sama-sama bertanggungjawab memberi sumbangan, dengan berkebajikan untuk menbayar wang tebusan darah dengan adil.
. Fasal 12-b
Hendaklah seseorang yang beriman itu tidak membuat apa-apa perjanjian dengan orang yang di bawah kawalan seseorang yang beriman yang lain dengan tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu.
• Fasal 13
Bahawa orang-orang beriman lagi bertaqwa hendaklah menentang sesiapa yang membuat kesalahan, melanggar kesusilaan, melakukan kezaliman atau dosa atau perseteruan atau kerosakan di kalangan orang-orang beriman, dan mereka hendaklah bersatu bersama-sama menentang orang tersebut walaupun jika orang itu anak kepada salah seorang dari mereka.
• Fasal 14
Tidak sayugianya seseorang mukmin itu membunuh seorang mukmin lain kerana seorang kafir, tidak sayugianya ia menolong mana-mana kafir terhadap seseorang mukmin.
• Fasal 15
Bahawa jaminan Allah itu adalah satu dan sama; ia melindungi nasib orang yang lemah dari perbuatan mereka; dan bahawa orang-orang Mukmin hendaklah salinh menjamin sesama sendiri terhadap (gangguan) orang lain.
• Fasal 16
Bahawa orang-orang Yahudi yang menyertai kita hendaklah mendapatkan pertolongan dan pimpinan dengan tidak menzalimi dan tidak boleh ada pakatan tidak baik terhadap mereka.
• Fasal 17
Bahawa perdamaian orang-orang mukmin itu adalah satu dan sama, oleh itu tidak boleh dibuat perjanjian dengan mana-mana orang mukmin tanpa diturut serta oleh mukmin yang lain dalam sesuatu perang pada jalan Allah, melainkan dengan dasar persamaan dan keadilan di kalangan mereka.
• Fasal 18
Bahawa setiap serangan kita hendaklah dikira sebagai serangan terhadap semua, oleh itu hendaklah disilihgantikan tenaga menentangnya.
• Fasal 19
Bahawa orang mukmin hendaklah saling membela sesama mereka atas setiap darah yang tumpah pada jalan Allah.
• Fasal 20
Bahawa orang-orang mukmin lagi bertaqwa hendaklah teguh di atas sebaik-baik petunjuk dan seteguh-teguhnya.

o Fasal 20-b
Nahawa tidak boleh mana-mana orang musyrik melindungi harta orang-orang Quraisy dan tidak juga nyawa mereka dan tidak boleh menghalang orang mukmin (akan haknya)
• Fasal 21
Barangsiapa membunuh dengan sewenang-wenangnya akan seorang mukmin dengan tidak ada bukti yang cukup hendaklah dihukum bunuh balas kecuali dipersetuji oleh wali yang kena bunuh menerima ganti darah. Semua orang mukmin hendaklah bersatu suara mengutuk perbuatan itu, bahkan tidak harus bagi mereka menegakkan terhadapnya.
• Fasal 22
Bahawa tidak harus bagi mana-mana orang mukmin yang mengakui isi kandungan Piagam ini, dan percaya Allah dan Hari Kemudian, menolong mana-mana orang yang mencabul ataupun melindungi orang itu. Barangsiapa menolong orang itu maka keatasnya laknat Allah dan kemurkaanNya pada hari Kiamat kelak, dan tidak akan diterima darinya sebarang tebusan dan tidak juga sebarang taubat.
• Fasal 23
Berbalah walau bagaimanapun kamu dalam sesuatu perkara hendaklah merujukkan perkara itu kepada Allah dan Nabi Muhammad.
• Fasal 24
Bahawa orang-orang Yahudi hendaklah turut serta membelanja sama-sama dengan orang-orang mukmin selama mana mereka itu berperang
• Fasal 25
Bahawa kaum Yahudi dari Bani Auf adalah satu ummah bersama orang-orang mukmin, mereka bebas dengan agama mereka sendiri (Yahudi) dan orang Islam dengan agama mereka (Islam), begitu juga orang-orang yang sekutu mereka dan begitu juga diri mereka sendiri, melainkan sesiapa yang zalim dan berbuat dosa maka hal itu tidak akan menimpa melainkan dirinya dan keluarganya sendiri
• Fasal 26
Yahudi Bani al-Najjar (diperlakukan) sama dengan Yahudi Bani Auf.
• Fasal 27
Yahudi Bani al-Harith (diperlakukan) sama dengan Yahudi Bani Auf.
• Fasal 28
Yahudi Bani al-Saidah (diperlakukan) sama dengan Yahudi Bani Auf.
• Fasal 29
Yahudi Bani Jusyaim (diperlakukan) sama dengan Yahudi Bani Auf.
• Fasal 30
Yahudi Bani al-Aus (diperlakukan) sama dengan Yahudi Bani Auf.
• Fasal 31
Yahudi Bani Tha’alabah (diperlakukan sama dengan Yahudi Bani Auf, kecuali orang-orang zalim dan orang yang berbuat dosa maka hal itu tidak akan menimpa melainkan diri dan keluarganya sendiri.
• Fasal 32
Bahawa suku Jafnah yang bertalian keturunan dengan Yahudi Tha’alabah (diperlakukan) sama dengan mereka itu (Bani Tha’alabah)
• Fasal 33
Bani Shutaibah (diperlakukan) sama dengan Yahudi Bani Auf, dan sikap yang baik hendaklah membendung segala kejahatan.
• Fasal 34
Bahawa orang-orang yang bersekutu dengan Yahudi Bani Tha’alabah (diperlakukan) sama dengan mereka itu.

• Fasal 35
Bahwa para pegawai kepada orang-orang Yahudi (diperlakukan) sama dengan orang-orang Yahudi itu sendiri.
• Fasal 36
Tiada seorang pun yang menyertai Piagam ini boleh menarik diri keluar dari pakatan mereka melainkan dengan persetujuan dari (Nabi) Muhammad.
o Fasal 36-b
Tidak boleh disekat dari membuat kelukaan yang dilakukan oleh mana-mana orang ke atas dirinya, barang siapa membuat kejahatan maka balasannya adalah dirinya dan keluarganya kecuali orang yang dizalimi dan bahawa Allah akan melindungi orang yang menghormati piagam ini.
• Fasal 37
Bahawa orang-orang Yahudi hendaklah menbiayai negara seperti mana orang-orang mukmin juga hendaklah membiayai negara; dan hendaklah mereka sama0sama tolong-menolong menentang sesiapa jua yang memerangi orang-orang yang menganggotai Piagam ini; dan hendaklah mereka saling nasihat-menasihati, sama-sama membuat kebajikan terhadap perbuatan dosa.
o Fasal 37-b
Mana-mana orang tidaklah boleh dianggap bersalah kerana kesalahan yang dilakukan oleh sekutunya; dan pertolongan hendaklah diberi kepada orang yang dizalimi.
• Fasal 38
Bahawa orang-orang Yahudi hendaklah memikul biayaan bersama-sama orang mukmin selama mana mereka berada dalam keadaan perang
• Fasal 39
Bahawa Kota Yathrib adalah terpelihara sempadannya tidak boleh dicerobohi oleh mana-mana pihak yang menganggotai piagam ini
• Fasal 40
Bahawa jiran tetangga hendaklah diperlaku sebagai diri sendiri, tidak boleh dilakukan terhadapnya sebarang bahaya dan dosa.
• Fasal 41
Tidak boleh dihampiri sebarang kehormatan (wanita) melainkan dengan izin keluarganya sendiri.
• Fasal 42
Bahawa apa juga kemungkaran (bunuh) atau apa juga pertengkaran di antara sesama peserta piagam ini sekira-kira dikhuatiri membawa bencana maka hendaklah dirujukkan kepada hukum Allah dan kepada penyelesaian oleh Muhammad pesuruh Allah, Allah menyaksikan kebaikan isi kandungan piagam ini dan merestuinya
• Fasal 43
Bahawa tidaklah boleh diberi bantuan perlindungan kepada Quraisy (musuh), begitu juga tidak boleh diberi perlindungan kepada orang-orang yang membantunya.
• Fasal 44
Bahawa hendaklah bantu-membantu mempertahankan kota Yathrib daripada mana-mana pihak yang mencerobohnya.
• Fasal 45
Apabila mereka diajak untuk berdamai atau untuk masuk campur dalam satu-satu perdamaian maka hendaklah mereka bersedia berdamai atau masuk campur ke dalam perdamaian itu; dan bila mana mereka diajak berbuat demikian maka orang-orang mukmin hendaklah merestuinya kecuali terhadap orang-orang yang memerangi agama (Islam).
• Fasal 46
Bahawa orang-orang Yahudi Aus sendiri dan begitu juga orang-orang yang bersekutu dengan mereka hendaklah memikul kewajipan sama seperti mana pihak-pihak yang lain yang menganggotai ini demi kebaikan mereka semata-mata (perdamaian) dari anggota-anggota piagam ini. Dan mereka hendaklah berbuat kebajikan dengan tidak melakukan dosa kerana barang siapa yang berbuat sesuatu maka dialah yang menanggungnya sendiri. Dan Allah menyaksi akan kebenaran isi kandungan Piagam ini dan merestuinya.
• Fasal 47
Bahawa piagam ini tidak boleh dipakai bagi melindungi orang-orang zalim dan yang bersalah; dan bahawa –mulai dari saat ini barang siapa berpergiaan dari kota Madinah atau menetap di dalamnya adalah terjamin keselamatannya kecuali orang-orang yang zalim atau bersalah. Dan bahawa Allah merestui setiap orang yang membuat kebajikan dan bertakwa dan bahawa Muhammad hendaklah diakui Pesuruh Allah

fasal2nya mirp2 smua....intiya Nabi Muhammad saw...di tpkan sebagai pemimpin kota madinah semua yang berhuungan dengan kenegaraan hrus dpat jin dr beliu

kurang jlsnya baca sndri ku jg msh beljr moga bermanfaat

TUGAS ushul FIQIH (jannah) dasar hukum ISlam

Hukum menurut bahasa ialah menetapkan sesuatu atas yang lain. Menurut syara’ hukum ialah firman Pembuat Syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa yang mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu, atau menjadikan sesuatu sebagai adanya yang lain. Sedangkan menurut fiqih, hukum ialah akibat dari kandungan firman Pembuat hukum. Dan menurut ushul fiqih, hukum ialah firman dari Pembuat Syara’ itu sendiri, baik firman Tuhan atau sabda nabi. Dengan demikian, tidak boleh diartikan bahwa hukum syara’ hanya berupa firman yang semata-mata datang dari Pembuat Syara’, tanpa memasukkan dalil-dalil syara’ lain seperti, ijma, qiyas, dan lain-lain. Hukum terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Hukum Taklifi, yaitu firman yang menjadi ketetapan, yang terdiri atas:
a. Ijab, yaitu firman yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
b. Nadb, yaitu firman yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti.
c. Tahrim, yaitu firman yang menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
d. Karahah, yaitu firman yang menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti.
e. Ibadah, yaitu firman yang membolehkan sesuatu untuk diperbuat ataupun ditinggalkan.

Kelimanya disebut sebagai taklifiyah yang berarti tuntutan atau memberi beban. 3
2. Hukum Wadh’i, yaitu firman yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain, atau sebagai syarat yang lain, atau sebagai penghalang.

Hukum wadh’i terdiri atas:
a. Sebab, yaitu sesuatu yang terang dan tertentu yang dijadikan sebagai pangkal adanya hukum. Artinya, dengan adanya sebab maka dengan sendirinya akan terbentuk hukum (musabab).

Sebab terbagi atas:
1) Sebab diluar usaha atau kesanggupan mukallaf.
2) Sebab yang disanggupi dan dapat diusahakan oleh mukallaf.

Mengerjakan sebab berarti menghendaki dan mengerjakan musababnya, baik disadari ataupun tidak. Orang yang mengerjakan sebab dengan sempurna maka orang tersebut tidak bisa mengelakkan diri dari musababnya.
b. Syarat, yaitu sesuatu yang karenanya baru ada hukum, dan dengan ketiadaannya tidak akan ada hukum.

Syarat terbagi atas:
1) Syarat haqiqi (syar’i), yaitu suatu pekerjaan yang diperintahkan syari’at sebelum mengerjakan yang lain, dan pekerjaan yang lain ini tidak diterima apabila tidak melakukan pekerjaan yang pertama.
2) Syarat ja’li, yaitu segala hal yang dijadikan syarat oleh perbuatannya untuk mewujudkan perbuatan yang lain. Syarat ja’li terbagi atas:
a) syarat penyempurnaan adanya masyrut (syarat yang lain).
b) syarat yang tidak cocok dengan maksud masyrut dan berlawanan dengan hikmahnya.
c) syarat yang tidak nyata-nyata berlawanan atau tidak nyata-nyata sesuai dengan masyrut.
4
d) suatu pekerjaan yang tergantung pada sebab dan syarat, di mana sebab telah ada tetapi syarat belum ada, maka pekerjaan tersebut tidak dapat dilakukan.
c. Mani’ (Penghalang), yaitu sesuatu hal yang karena adanya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab bagi hukum.

Perbedaan hukum taklifi dengan hukum wadh’i:
1. Hukum taklifi menuntut perbuatan mencegahnya atau membolehkan memilih untuk melakukan atau tidak, sedangkan hukum wadh’i tidak menuntut melarang atau membolehkan memilih.
2. Hukum taklifi selalu dalam kesanggupan mukallaf, sedangkan hukum wadh’i kadang disanggupi kadang tidak.

B. AL-QUR’AN

Al-Qur’an ialah kumpulan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan dinukilkan dengan jalan mutawatir dan dengan bahasa Arab. Ke-Arab-an Al-Qur’an merupakan bagian dari Al-Qur’an, karena itu terjemahannya tidak disebut sebagai Al-Qur’an. Al-Qur’an harus diturunkan dengan tawatur, artinya diriwayatkan oleh orang banyak secara berturut-turut. Pokok isi kandungan Al-Qur’an terdiri atas:
1. Tauhid (mengesakan Allah)
2. Ibadah
3. Janji dan Ancaman
4. Peraturan dan Hukum
5. Riwayat dan Cerita

Kebanyakan hukum yang ada dalam Al-Qur’an bersifat umum (kulli) tidak membicarakan soal-soal yang kecil (juz’i). Karena itu, Al-Qur’an membutuhkan penjelasan untuk menjelaskan hukum secara lebih detail, yaitu berupa sunnah, ijma’, dan qiyas.
Hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an secara garis besar terbagi atas dua, yaitu:
1. Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (ibadah).

Ibadah terbagi atas:
a. Yang bersifat semata-mata ibadah, yaitu shalat dan puasa.
b. Yang bersifat harta benda dan hubungan masyarakat, yaitu zakat.
c. Yang bersifat badaniyah dan berhubungan juga dengan masyarakat, yaitu hajji.
2. Hukum-hukum yang mengatur pergaulan manusia dengan manusia, yang disebut mu’amalat.

Hukum ini dibagi empat, yaitu:
a. Yang berhubungan dengan jihad.
b. Yang berhubungan dengan rumah tangga.
c. Yang berhubungan dengan pergaulan hidup manusia.
d. Yang berhubungan dengan hukum pidana (jinayat).

Dalam mengadakan perintah dan larangan, Al-Qur’an berpedoman kepada tiga hal, yaitu:
1. Tidak memberatkan atau menyusahkan.
2. Tidak memperbanyak tuntutan.
3. Berangsur-angsur dalam mentasyri’kan hukum.

C. SUNNAH / HADIST

Sunnah menurut bahasa ialah jalan yang terpuji, jalan atau cara yang dibiasakan; kebalikan bid’ah; apa yang diperbuat oleh sahabat baik ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan Hadits ataupun tidak. Menurut istilah, sunnah ialah segala yang dinukil dan diberitakan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan (taqrir). Sunnah juga disebut hadits atau khabar. Sunnah dapat dijadikan hujjah (pegangan) dan dapat mengadakan hukum. Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an serta menjadi dasar penetapan hukum, dan aqal fikiran adalah yang ketiga.

Sunnah dibagi empat, yaitu:
1. Sunnah Qauliyah (perkataan Nabi SAW), disebut juga sebagai Khabar. Sunnah qauliyah terbagi atas:
a. Yang pasti benarnya.
b. Yang pasti tidak benarnya.
c. Yang tidak dapat dipastikan benar salahnya.
2. Sunnah Fi’liyah (perbuatan Nabi SAW), terbagi atas:
a. Gerakan hati, jiwa, dan tubuh.
b. Perbuatan yang merupakan kebiasaan dan pembawaan.
c. Perbuatan yang khusus dikerjakan oleh Nabi SAW.
d. Perbuatan yang menjelaskan isi Al-Qur’an.
e. Perbuatan yang menunjukkan kebolehan suatu perkara.
3. Sunnah Taqririyah (pengakuan Nabi SAW)
4. Sunnah Hammiyah (hal yang hendak diperbuat Nabi SAW, tetapi tidak sampai diperbuat)

D. IJMA’

Ijma’ ialah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada suatu masa mengenai suatu hukum syara’. Artinya, ijma’ harus disetujui oleh seluruh (lebih dari satu orang) ahli ijtihad dari seluruh umat muslim pada masa yang sama dan persetujuan tersebut harus tampak nyata, serta hanya untuk menetapkan hukum-hukum syara’. Ijma’ terbagi atas:
1. Ijma’ Qauli, dimana para ahli ijtihad mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan untuk menyepakati pendapat mujtahid lain dimasanya. Ijma’ ini juga disebut Ijma’ Bayani atau Ijma’ Qath’i.
2. Ijma’ Sukuti, dimana para ahli ijtihad bersikap diam terhadap pendapat mujtahid lain dimasanya. Diam di sini dianggap menyetujui.

Contoh ijma’ adalah hak waris seorang kakek dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan anak dan ayah yang masih hidup.

E. QIYAS

Dari segi bahasa, qiyas berarti mengukurkan sesuatu atas lainnya dan mempersamakannya. Sedangkan menurut istilah, qiyas ialah menetapkan hukum suatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya. Rukun qiyas yaitu:
1. Asal (pokok), yaitu yang menjadi ukuran. Syarat asal yaitu:
a. Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok.
b. Hukum yang ada pada pokok harus hukum syara’.
c. Hukum pokok tidak merupakan hukum pengecualian.
2. Far’un (cabang), yaitu yang diukur atau yang diserupakan. Syarat far’un yaitu:
a. Adanya cabang tidak lebih dulu dari pokok.
b. Cabang tidak mempunyai ketentuan sendiri.
c. Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan yang ada pada pokok.
d. Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
3. Illat, yaitu sebab yang menggabungkan pokok dengan cabangnya. Syarat illat yaitu:
a. Illat harus tetap berlaku.
b. Illat berpengaruh terhadap hukum.
c. Illat harus terang dan tertentu.
d. Illat tidak berlawanan dengan nas.
4. Hukum, yaitu yang ditetapkan bagi cabang dan sama dengan yang terdapat pada pokok.

contohnya:
Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT:
Artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)

Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya. Perbuatan itulalah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan.

Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:

"Orang yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi." (HR. Tirmidzi)
dan msh bnyk lagee klmau cri...heheee


smoga bermanfaat yah kawan..bagi yang mncari tugas UShulFiqh....selmt berjuang