Kamis, 01 April 2010

TUGAS ushul FIQIH (jannah) dasar hukum ISlam

Hukum menurut bahasa ialah menetapkan sesuatu atas yang lain. Menurut syara’ hukum ialah firman Pembuat Syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa yang mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu, atau menjadikan sesuatu sebagai adanya yang lain. Sedangkan menurut fiqih, hukum ialah akibat dari kandungan firman Pembuat hukum. Dan menurut ushul fiqih, hukum ialah firman dari Pembuat Syara’ itu sendiri, baik firman Tuhan atau sabda nabi. Dengan demikian, tidak boleh diartikan bahwa hukum syara’ hanya berupa firman yang semata-mata datang dari Pembuat Syara’, tanpa memasukkan dalil-dalil syara’ lain seperti, ijma, qiyas, dan lain-lain. Hukum terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Hukum Taklifi, yaitu firman yang menjadi ketetapan, yang terdiri atas:
a. Ijab, yaitu firman yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
b. Nadb, yaitu firman yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti.
c. Tahrim, yaitu firman yang menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
d. Karahah, yaitu firman yang menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti.
e. Ibadah, yaitu firman yang membolehkan sesuatu untuk diperbuat ataupun ditinggalkan.

Kelimanya disebut sebagai taklifiyah yang berarti tuntutan atau memberi beban. 3
2. Hukum Wadh’i, yaitu firman yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain, atau sebagai syarat yang lain, atau sebagai penghalang.

Hukum wadh’i terdiri atas:
a. Sebab, yaitu sesuatu yang terang dan tertentu yang dijadikan sebagai pangkal adanya hukum. Artinya, dengan adanya sebab maka dengan sendirinya akan terbentuk hukum (musabab).

Sebab terbagi atas:
1) Sebab diluar usaha atau kesanggupan mukallaf.
2) Sebab yang disanggupi dan dapat diusahakan oleh mukallaf.

Mengerjakan sebab berarti menghendaki dan mengerjakan musababnya, baik disadari ataupun tidak. Orang yang mengerjakan sebab dengan sempurna maka orang tersebut tidak bisa mengelakkan diri dari musababnya.
b. Syarat, yaitu sesuatu yang karenanya baru ada hukum, dan dengan ketiadaannya tidak akan ada hukum.

Syarat terbagi atas:
1) Syarat haqiqi (syar’i), yaitu suatu pekerjaan yang diperintahkan syari’at sebelum mengerjakan yang lain, dan pekerjaan yang lain ini tidak diterima apabila tidak melakukan pekerjaan yang pertama.
2) Syarat ja’li, yaitu segala hal yang dijadikan syarat oleh perbuatannya untuk mewujudkan perbuatan yang lain. Syarat ja’li terbagi atas:
a) syarat penyempurnaan adanya masyrut (syarat yang lain).
b) syarat yang tidak cocok dengan maksud masyrut dan berlawanan dengan hikmahnya.
c) syarat yang tidak nyata-nyata berlawanan atau tidak nyata-nyata sesuai dengan masyrut.
4
d) suatu pekerjaan yang tergantung pada sebab dan syarat, di mana sebab telah ada tetapi syarat belum ada, maka pekerjaan tersebut tidak dapat dilakukan.
c. Mani’ (Penghalang), yaitu sesuatu hal yang karena adanya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab bagi hukum.

Perbedaan hukum taklifi dengan hukum wadh’i:
1. Hukum taklifi menuntut perbuatan mencegahnya atau membolehkan memilih untuk melakukan atau tidak, sedangkan hukum wadh’i tidak menuntut melarang atau membolehkan memilih.
2. Hukum taklifi selalu dalam kesanggupan mukallaf, sedangkan hukum wadh’i kadang disanggupi kadang tidak.

B. AL-QUR’AN

Al-Qur’an ialah kumpulan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan dinukilkan dengan jalan mutawatir dan dengan bahasa Arab. Ke-Arab-an Al-Qur’an merupakan bagian dari Al-Qur’an, karena itu terjemahannya tidak disebut sebagai Al-Qur’an. Al-Qur’an harus diturunkan dengan tawatur, artinya diriwayatkan oleh orang banyak secara berturut-turut. Pokok isi kandungan Al-Qur’an terdiri atas:
1. Tauhid (mengesakan Allah)
2. Ibadah
3. Janji dan Ancaman
4. Peraturan dan Hukum
5. Riwayat dan Cerita

Kebanyakan hukum yang ada dalam Al-Qur’an bersifat umum (kulli) tidak membicarakan soal-soal yang kecil (juz’i). Karena itu, Al-Qur’an membutuhkan penjelasan untuk menjelaskan hukum secara lebih detail, yaitu berupa sunnah, ijma’, dan qiyas.
Hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an secara garis besar terbagi atas dua, yaitu:
1. Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (ibadah).

Ibadah terbagi atas:
a. Yang bersifat semata-mata ibadah, yaitu shalat dan puasa.
b. Yang bersifat harta benda dan hubungan masyarakat, yaitu zakat.
c. Yang bersifat badaniyah dan berhubungan juga dengan masyarakat, yaitu hajji.
2. Hukum-hukum yang mengatur pergaulan manusia dengan manusia, yang disebut mu’amalat.

Hukum ini dibagi empat, yaitu:
a. Yang berhubungan dengan jihad.
b. Yang berhubungan dengan rumah tangga.
c. Yang berhubungan dengan pergaulan hidup manusia.
d. Yang berhubungan dengan hukum pidana (jinayat).

Dalam mengadakan perintah dan larangan, Al-Qur’an berpedoman kepada tiga hal, yaitu:
1. Tidak memberatkan atau menyusahkan.
2. Tidak memperbanyak tuntutan.
3. Berangsur-angsur dalam mentasyri’kan hukum.

C. SUNNAH / HADIST

Sunnah menurut bahasa ialah jalan yang terpuji, jalan atau cara yang dibiasakan; kebalikan bid’ah; apa yang diperbuat oleh sahabat baik ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan Hadits ataupun tidak. Menurut istilah, sunnah ialah segala yang dinukil dan diberitakan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan (taqrir). Sunnah juga disebut hadits atau khabar. Sunnah dapat dijadikan hujjah (pegangan) dan dapat mengadakan hukum. Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an serta menjadi dasar penetapan hukum, dan aqal fikiran adalah yang ketiga.

Sunnah dibagi empat, yaitu:
1. Sunnah Qauliyah (perkataan Nabi SAW), disebut juga sebagai Khabar. Sunnah qauliyah terbagi atas:
a. Yang pasti benarnya.
b. Yang pasti tidak benarnya.
c. Yang tidak dapat dipastikan benar salahnya.
2. Sunnah Fi’liyah (perbuatan Nabi SAW), terbagi atas:
a. Gerakan hati, jiwa, dan tubuh.
b. Perbuatan yang merupakan kebiasaan dan pembawaan.
c. Perbuatan yang khusus dikerjakan oleh Nabi SAW.
d. Perbuatan yang menjelaskan isi Al-Qur’an.
e. Perbuatan yang menunjukkan kebolehan suatu perkara.
3. Sunnah Taqririyah (pengakuan Nabi SAW)
4. Sunnah Hammiyah (hal yang hendak diperbuat Nabi SAW, tetapi tidak sampai diperbuat)

D. IJMA’

Ijma’ ialah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada suatu masa mengenai suatu hukum syara’. Artinya, ijma’ harus disetujui oleh seluruh (lebih dari satu orang) ahli ijtihad dari seluruh umat muslim pada masa yang sama dan persetujuan tersebut harus tampak nyata, serta hanya untuk menetapkan hukum-hukum syara’. Ijma’ terbagi atas:
1. Ijma’ Qauli, dimana para ahli ijtihad mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan untuk menyepakati pendapat mujtahid lain dimasanya. Ijma’ ini juga disebut Ijma’ Bayani atau Ijma’ Qath’i.
2. Ijma’ Sukuti, dimana para ahli ijtihad bersikap diam terhadap pendapat mujtahid lain dimasanya. Diam di sini dianggap menyetujui.

Contoh ijma’ adalah hak waris seorang kakek dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan anak dan ayah yang masih hidup.

E. QIYAS

Dari segi bahasa, qiyas berarti mengukurkan sesuatu atas lainnya dan mempersamakannya. Sedangkan menurut istilah, qiyas ialah menetapkan hukum suatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya. Rukun qiyas yaitu:
1. Asal (pokok), yaitu yang menjadi ukuran. Syarat asal yaitu:
a. Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok.
b. Hukum yang ada pada pokok harus hukum syara’.
c. Hukum pokok tidak merupakan hukum pengecualian.
2. Far’un (cabang), yaitu yang diukur atau yang diserupakan. Syarat far’un yaitu:
a. Adanya cabang tidak lebih dulu dari pokok.
b. Cabang tidak mempunyai ketentuan sendiri.
c. Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan yang ada pada pokok.
d. Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
3. Illat, yaitu sebab yang menggabungkan pokok dengan cabangnya. Syarat illat yaitu:
a. Illat harus tetap berlaku.
b. Illat berpengaruh terhadap hukum.
c. Illat harus terang dan tertentu.
d. Illat tidak berlawanan dengan nas.
4. Hukum, yaitu yang ditetapkan bagi cabang dan sama dengan yang terdapat pada pokok.

contohnya:
Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT:
Artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)

Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya. Perbuatan itulalah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan.

Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:

"Orang yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi." (HR. Tirmidzi)
dan msh bnyk lagee klmau cri...heheee


smoga bermanfaat yah kawan..bagi yang mncari tugas UShulFiqh....selmt berjuang

Tidak ada komentar: