Senin, 05 April 2010

ISLAM dlm modernisasi DAN DEMOKRASI

Tidak ada negara Islam karena negara tidak bisa berdiri berdasar kepada agama demikian juga Islam tidak bisa menjadi identitas sebuah negara. Negara adalah suatu institusi sebagai wadah structural yang menyelenggalarakan pemerintahan.

Dengan pemerintahan maka masyarakat akan memperoleh perlindungan menuju kepada kehidupan yang sejahtera lahir dan batin. Sebagai sebuah lembaga maka negara tentunya tidak mungkin beragama. Yang beragama adalah manusia baik sebagai subyek maupun obyek pemerintahan. Tetapi hal itu bukan berarti bahwa negara tidak membutuhkan agama demikian juga agama tidak membutuhkan negara.

Sebagai subyek pemerintahan maka tentunya manusia harus memiliki seperangkat nilai-nilai untuk menjadikan pelaku pemerintahan menjadi orang yang jujur, ikhlas, disiplin, bersahabat dan beretos kerja. Demikian juga manusia sebagai obyek pembangunan hendaklah menerima kepemerintahan itu berdasar pada nilai-nilai luhur agamanya sehingga tidak mengorbankan nilai-nilai kepatutan.

Demikianlah hubungan saling mendukung negara dan agama namun berada pada dua posisi yang berbeda. Kepustakaan klasik Islam tidak pernah menyebut kata negara kecuali sebutan al daulat al islamiyah yang diartikan kedaulatan Islam (Islamic sovereignity). Kata negara Islam (Islamic state) baru muncul setelah terjadinya kontak dunia Islam dengan dunia barat pada awal abad 19.

Lalu bagaimana halnya dengan demokrasi ? Kata demokrasi merujuk kepada prinsip kehidupan bernegara yang ditandai adanya partisipasi dan pengelolaan secara terbuka terhadap pemerintahan.

Sampai disini, maka Islam mendukung prinsip kehidupan demokrasi karena Islam memandang manusia dalam kedudukan yang sama. Faktor yang membedakan hanyalah takwa (Q.S. Al Hujurat [49]: 13). Takwa dengan bahasa sederhana adalah upaya pendekatan diri secara terus menerus kepada Allah SWT.

Oleh karena subtansi keislaman adalah takwa maka nilai keislaman itu terletak di dalam lubuk hati yang terdalam bukan pada simbol yang menunjuk pada identitas keislaman. Simbol bukan tidak perlu akan tetapi posisinya tidak lebih dari sebagai aktualisasi kerumitan sebuah substansi ketakwaan yang sulit dibahasakan secara lahiriah.

Selanjutnya, oleh karena demokrasi adalah semata berasal dari kultur yang terbentuk melalui logika pemikiran yang pragmatistik, maka ukuran kebenaran yang dijadikan patokan adalah pada perimbangan jumlah suara dan tidak melihat latar belakang akar persoalan yang menghasilkan suara.

Dalam kaitan itu, suara orang yang berpikiran panjang dengan berpikiran pendek dipandang memiliki kualitas yang sama padahal akibat dari pemungutan suara adalah akan menentukan masa depan suatu bangsa dalam siklus tahunan tertentu.

Oleh karena itu, Islam sebagai ajaran yang bersumber dari Zat Yang Maha Bijaksana tentulah mengajarkan kepada umatnya untuk tidak berhenti sekedar pada jumlah angka nominal suara akan tetapi melacak lebih dalam lagi yaitu terhadap nilai hukum.

Dalam kaitan itulah Islam menawarkan jalan tengah yaitu perlunya dijalani proses musyawarah sebelum diambil keputusan akan tetapi keputusan yang sesungguhnya adalah bersumber pada pemimpin yang dapat merefleksikan pesan-pesan ilahiah sebagai pengemban amanah.

Besarnya bobot wewenang kepada pemimpin seimbang dengan besarnya tanggung jawab yang dipikulnya baik di dunia maupun hari kemudian. Kemudian, umat manusia telah mengalami proses transformasi dari kehidupan bersahaja menuju kepada kehidupan moderen maka lahirlah modernisasi. Modernisasi adalah positif sepanjang berkaitan dengan pembaruan teknis kehidupan karena dengan modernisasi kehidupan manusia semakin mudah, nikmat dan nyaman.

Akan tetapi sekali-kali modernisasi tidak boleh menggugat nilai-nilai yang bersumber dari tradisi keagamaan dan norma- norma kepatutan yang telah berurat berakar bagi masyarakat dengan alasan bertentangan dengan kemajuan.

Dengan demikian, modernisasi amat berguna manakala diaktifkan untruk mendukung pengembangan pranata sosial yang dinaungi oleh nilai keislaman. Akan tetapi sebaliknya modernisasi akan membawa malapetaka manakala ia kehilangan arah karena mengabaikan nilai absolut (ultimate value) kehidupan yang bersumber dari Islam. Demikianlah hubungan antara Islam dengan negara, demokrasi dan modernisasi. Wallahu a’lam bsh shawab.

Penulis adalah Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mg bermnafaat..q jg ge cri2nih..bwt SOCIOLOGI..ISLAM

Tidak ada komentar: