Jumat, 22 Januari 2010

JENIS-JENIS AKAD DAN BERBAGAI KONSEKUENSI HUKUMNYA

JENIS-JENIS AKAD DAN BERBAGAI KONSEKUENSI HUKUMNYA

Diantara hal prinsip yang seyogyanya diketahui oleh setiap pengusaha atau calon pengusaha ialah mengenali macam-macam akad dan konsekwensi hukumnya masing-masing. Hal ini penting untuk diketahui dan senantiasa diperhatikan, sebab menurut pengalaman pribadi saya, dengan menguasainya pembagian akad dan konsekwensi masing-masing, memudahkan kita dalam memahami berbagai hukum syariat terkait dengannya. [Pembagian macam-macam akad ini saya sarikan dari beberapa referensi berikut: Qawaidh Ibnu Rajab Al Hambaly 1/375, kaedah ke-52, & 2/418, kaedah ke-105, Al Muwafaqat oleh As Syathiby 3/199, As Syarhul Mumti' oleh Syeikh Ibnu Utsaimin 8/278, 9/120, 127-129, Ad Dirasyat As Syar'iyah li Ahammil uqud Al Maliyyah Al Mustahdatsah, oleh Dr. Muhammad Musthofa As Syinqity 1/73-89]

A. Pembagian akad ditinjau dari tujuannya.

Bila kita memperhatikan tujuan atau maksud berbagai akad yang terjadi antara dua orang atau lebih, maka kita dapat membagi berbagai akad tersebut menjadi tiga macam:

Pertama: Akad yang bertujuan untuk mencari keuntungan materi, sehingga setiap orang yang menjalankan akad ini senantiasa sadar dan menyadari bahwa lawan akadnya sedang berusaha mendapatkan keuntungan dari akad yang ia jalin.

Pada akad ini biasanya terjadi suatu proses yang disebut dengan tawar-menawar. Sehingga setiap orang tidak akan menyesal atau terkejut bila dikemudian hari ia mengetahui bahwa lawan akadnya berhasil memperoleh keuntungan dari akad yang telah terjalin dengannya.

Contoh nyata dari akad macam ini ialah akad jual-beli, sewa-menyewa, syarikat dagang, penggarapan tanah (musaqaah), dll.

Syari'at Islam pada prinsipnya membenarkan bagi siapa saja untuk mencari keuntungan melalui akad macam ini.

Kedua: Akad yang bertujuan untuk memberikan perhargaan, pertolongan, jasa baik atau uluran tangan kepada orang lain. Dengan kata lain, akad-akad yang bertujuan mencari keuntungan non materi.

Biasanya yang menjalin akad macam ini ialah orang yang sedang membutuhkan bantuan atau sedang terjepit oleh suatu masalah. Oleh karena itu, orang yang menjalankan akad ini tidak rela bila ada orang yang menggunakan kesempatan dalam kesempitannya ini, guna mengeruk keuntungan dari bantuan yang ia berikan.

Contoh nyata dari akad macam ini ialah: akad hutang-piutang, penitipan [1], peminjaman, shadaqah, hadiyah, pernikahan, dll.

Karena tujuan asal dari akad jenis ini demikian adanya, maka syari'at Islam tidak membenarkan bagi siapapun untuk mengeruk keuntungan darinya.
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa." (Qs. Al-Baqarah: 276)

Pada ayat ini Allah Ta'ala mengancam para pemakan riba dan kemudian dilanjutkan dengan menyebutkan ganjaran yang akan diterima oleh orang yang bersedekah. Ini adalah isyarat bagi kita bahwa praktek riba adalah lawan dari shadaqah. Isyarat ini menjadi semakin kuat bila kita mencermati ayat-ayat selanjunya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ . فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ . وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (Qs. Al-Baqarah: 278-280)

Oleh karena itu dinyatakan dalam satu kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fiqih:

كل قرض جر نفعا فهو ربا

"Setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba." (Baca Al Muhazzab oleh As Syairazy 1/304, Al Mughny oleh Ibnu Qudamah 4/211&213, As Syarhul Mumti' 9/108-109 dll)

Ketiga: Akad yang berfungsi sebagai jaminan atas hak yang terhutang. Dengan demikian, akad ini biasanya diadakan pada akad hutang-piutang, sehingga tidak dibenarkan bagi pemberi piutang (kreditur) untuk mengambil keuntungan dari barang yang dijaminkan kepadanya. Bila kreditur mendapatkan manfaat atau keuntungan dari piutang yang ia berikan, maka ia telah memakan riba, sebagaimana ditegaskan pada kaidah ilmu fiqih di atas.

Ditambah lagi, harta beserta seluruh pemanfaatannya adalah hak pemiliknya, dan tidak ada seseorangpun yang berhak untuk menggunakannya tanpa seizin dan kerelaan dari pemiliknya.


لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيب نفس منه. رواه أحمد والدارقطني والبيهقي، وصححه الحافظ والألباني

"Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwa darinya." (Riwayat Ahmad, Ad Daraquthny, Al Baihaqy dam dishahihkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dan Al Albany)

Dikecualikan dari keumuman hukum ini, bila keuntungan tersebut dipersyaratkan ketika akad jual beli atau sewa-menyewa atau akad serupa dengan keduanya [2] yang dilakukan dengan pembayaran dihutang. (Baca Majmu' Fatwa Al Lajnah Ad Daimah 14/176-177, fatwa no: 20244)

Misalnya: Bila A menjual mobil kepada B seharga Rp 50.000.000,- dan dibayarkan setelah satu tahun, dengan jaminan sebuah rumah. Dan ketika akad penjualan sedang berlangsung, A mensyaratkan agar ia menempati rumah tersebut selama satu tahun hingga tempo pembayaran tiba, dan B menyetujui persyaratan tersebut, maka A dibenarkan untuk menempati rumah milik B yang digadaikan tersebut. Karena dengan cara seperti ini, sebenarnya A telah menjual mobilnya dengan harga Rp 50.000.000,- ditambah ongkos sewa rumah tersebut selama satu tahun.

Adapun bila akad penjualan telah selesai ditandatangani, maka tidak dibenarkan bagi A untuk menempati rumah tersebut, baik seizin B atau tanpa seizin darinya, sebab bila ia memanfaatkan rumah tersebut, berarti ia telah mendapat keuntungan dari piutang dan itu adalah riba, sebagaimana ditegaskan pada kaedah ilmu fiqih di atas.

Diantara akad yang tergolong kedalam kelompok ini ialah akad pegadaian (rahnu), jaminan (kafalah), persaksian (syahadah) dll.

Manfaat mengetahui pembagian akad ditinjau dari tujuannya.

Dengan memahami pembagian akad ditinjau dari tujuannya semacam ini, kita dapat memahami alasan dan hikmah diharamkannya riba. Sebagaimana kita dapat memahami hikmah pembedaan antara riba dengan akad jual-beli:


الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Qs. Al Baqarah: 275)

Diantara faedah mengetahui pembagian akad ditinjau dari tujuannya semacam ini, akan nampak disaat terjadi perselisihan yang diakibatan oleh adanya cacat pada barang yang menjadi obyek suatu akad. Karena adanya cacat pada obyek tersebut akan sangat berpengaruh pada proses akad jenis pertama. Tetapi keberadaan cacat tersebut tidak memiliki pengaruh apapun pada akad jenis kedua dan ketiga.

Tidak ada komentar: